Salam Tempel di Tugu Ireng Perbatasan Jogja – Magelang yang Unik dan Lucu

13
13608
Tugu Ireng Salam Tempel Jogja Magelang
Tugu Ireng Salam Tempel Jogja Magelang

Tatkala mendengar kata “salam-tempel” dihubungkan dengan kata “jembatan,” yang terlintas di benak kita mungkin saja adalah tabiat para penjaga jembatan timbangan yang acap menerima salam tempel dari awak kendaraan pengangkut barang. Tabiat salam tempel itu memang merupakan sikap buruk karena mengindikasikan terjadi proses suap antara pengguna jalan dan petugas yang seharusnya mengawasi dan menjaga agar aturan tetap dipatuhi.

Proses Suap Salam Tempel

Sebagai contoh ketika truk yang membawa beban pasir harus melewati jembatan timbang, maka dia harus masuk dalam jembatan tersebut. Dan kebiasaan awak kendaraan melebihi beban maksimal adalah hal yang acap terjadi dengan alasan agar memperoleh laba lebih. Jika sesuai peratran, kelebihan beban ini tentu saja akan membuat kendaraan pengangkut pasir itu harus berhenti dan mengurangi bebannya, alasannya selain dapat mengakibatkan kecelakaan tentu juga menyebabkan jalan cepat rusak karena dilewati oleh beban diatas rata-rata. Namun pada kenyataannya sopir pun kernet bisa melenggang dan mudah melewati petugas yang ada.

Sebagaimana contoh di atas, mudahnya awak truk pengangkut pasir melewati petugas, kebanyakan karena mereka telah mengadakan “salam tempel,” yaitu wujud salam yang berisi uang sebagai “pelicin” sehingga memudahkan mereka melewati jembatan tersebut.

Di Jogja ada Salam Tempel yang Berbeda

Salam tempel yang terjadi dan acap diprektekkan oleh para petugas jembatan timbang dalam mengatur kendaraan angkutan barang adalah tindak penyuapan yang tentu saja masuk dalam kategori kolusi serta korupsi. Namun ketika Anda sempat ke Jogjakarta dan melewati jalur Magelang, jangan berburuk sangka dulu, karena pada selama dalam perjalanan jalur Jogja-Magelang (dan sebaliknya) ada salam tempel lain yang jauh dari tabiat buruk para petugas.

Perbatasan antara Sleman dan Magelang, juga menjadi perbatasan antara wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti layaknya perbatasan di tempat lain, ada tanda khusus guna menunjukkan bahwa ini adalah daerah perbatasan. Dan gapura adalah tanda yang didirikan oleh pihak pemerintah sebagai tapal-batas bagi kedua propinsi.

  • Gapura Tapal Batas

Gapura yang berfungsi sebagai tapal batas ini berlokasi di sebelah barat Jembatan Sungai Krasak, sungai yang mengalirkan air dan juga lahar dari Gunung Merapi, dimana gunung Merapi juga merupakan batas bagi kedua provinsi.

Gapura tapal batas ini berdiri gagah namun juga sangat indah dipandang mata utamanya pada malam hari. Bahkan banyak orang yang melewatinya juga terlihat sering mengabadikannya, yaitu dengan menyempatkan diri berhenti dan lalu berpose di sana.

  • Lokasi khusus Salam Tempel

Sekiranya di jembatan timbang terjadi salam tempel antara petugas dan pengguna jalan, maka salam tempel yang terjadi di tugu (gapura) perbatasan YogyakartaJawa Tengah ini bukanlah salam tempel antara pengguna jalan yang berhenti berpose tadi dengan penunggu gapura. Lain dari itu, Salam Tempel di sini adalah nama dua tempat yang juga saling berbatasan.

Salam adalah nama kecamatan yang letaknya ada di sebelah utara -dan barat- dari gapura yang merupakan wilayah administratif dari kabupaten Magelang, sedangkan Tempel adalah nama kecamatan Tempel yang berlokasi di sebelah selatan -dan timur- gapura. Tempel merupakan satu kecamatan di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Salam Tempel ini akan sangat terasa apabila kita naik kendaraan umum dari arah Magelang menuju ke Jogja, karena sang kernet biasanya akan teriak-teriak dulu memberitahukan kita bahwa telah sampai di Salam yang tak lama kemudian juga akan meneriakkan Tempel, sebab memang telah sampai di kecamatan Tempel.

Jika masih bingung mengenai keberadaan gapura tapal batas ini, dari arah Magelang sejatinya bisa ditengarai dengan melihat sebuah stasiun radio POP Fm, radio yang awalnya bernama Mandala FM ini lokasinya tak jauh dari gapura.

Kelucuan Nama Gapura Akibat Tingkah Rezim Orba

Gapura yang merupakan tapal-batas kedua daerah ini memiliki cerita unik yang sekaligus juga bermuatan fakta lucu yang dipertontonkan oleh para penguasa era orde baru. Pasalnya tugu atapun gapura ini dahulu dikenal masyarakat sekitar dengan nama TUGU IRENG, karena memang warnanya adalah hitam sebagai manifestasi warna stupa sebagai gambaran tempat ini tak jauh dari Candi Borobudur, lambang kejayaan peradaban Indonesia masa lampau.

Pemuatan warna hitam sebagai simbul stupa ini tentunya tak berlebihan, lantaran kedua provinsi dan kedua kabupaten memang memiliki simpanan memori sejarah yang berkaitan dengan candi. Berawal pada nama “Tugu Ireng” ini, tatkala kita menggunakan transportasi umum dan hendak turun di dekat Tempel, tak pelak kita akan mengatakan, “Mas, tugu ireng kiri!”

  • Ada Kuningisasi Birokrasi

Kejayaan Soeharto dalam pembangunan lima tahun adalah juga kejayaan rezim orde baru. Dan pembangunan lima tahun itu kenyataannya lebih pada sisi pembangunan fisik saja, sama sekali tak dibarengi pembangunan mental. Maka pada era Soeharto menjadi presiden banyak hal dipengaruhi keputusannya, dan tak terkecuali dengan keberadaan tugu ireng yang menjadi tanda tapal-batas tersebut.

Pada sekitar tahun 1995 birokrasi era Soeharto sedang giat-giatnya melakukan manuver “kuningisasi” sebagai manifestasi warna partai yang selalu memenangkan pemilihan umum, yaitu “golkar.” Kuningisasi itu menyentuh juga pada tugu ireng, awal filosofinya yang tak jauh dari “candi” ini tak dipedulikan lagi. Pasalnya tanpa banyak alasan, tugu yang dibuat dengan pilar berbatu dan menggambarkan “stupa” ini dengan serta-merta turut berubah warna menjadi kuning.

Ini jelas lucu. Sehingga kalimat “sature” juga acap bermunculan di tengah masyarakat; ‘Candi Borobudur akan dikuningkan!’

Kernet, sopir, dan para penumpang kendaraan umum juga tak mau kalah satire, pasalnya tatkala melewati gapura perbatasan itu, gurauan para kernet juga menjadi berbeda, apabila awalnya ada penumpang yang meminta untuk turun dan berkata “Mas, tugu ireng mas!,” maka jawaban sang kenek (bahkan sopir juga sering menyahut) adalah “Ora ana tugu ireng!” (“Tidak ada tugu hitam!” -red)

Tentu hal di atas menimbulkan gelak-tawa namun juga pahit, karena melihat para pemimpinnya berlaku konyol. Hanya saja sang penumpang tetap ngalah, karena kemudian akan bilang “Ya wis tugu kuning mas.”

  • Plin-Plan Setelah Era Reformasi

Waktu lebih dari dua tahun sebenarnya telah membuat masyarakat terbiasa mengatakan “Tugu Kuning,” namun saat reformasi bergulir dan mampu menurunkan Soeharto, masyarakat akhirnya membersihkan warna kuning dan mengembalikan warna tugu itu pada warna aslinya, hitam atau dalam bahasa Jawanya “ireng.”

Ketika tugu kuning telah kembali ke asal sebagai “tugu ireng” warga pengguna moda transportasi umum tetap dengan kelucuan berbau “satire.” Mereka selalu menjadikannya sebagai bahan candaan.

“Mas Tugu Kuning mas” penumpang meminta turun dari kendaraan-umumnya kepada kernet.

“Tugu Kuning-e wis ngalih, Tugu Ireng-e sing bali” (“Tugu Kuningnya sudah pindah, karena Tugu Ireng sudah kembali” -red) jawab sang kernet

“Wooo, tugu kok molah-malih, mencla-mencle kaya lambene kenek’e” (“woo, tugu kok ganti-ganti terus, plin-plan seperti bibir kernetnya” -red), timpal sang penumpang

Sontak seisi kendaraan umum itu tertawa, karena dari Salam-Tempel hingga tugu yang mencla-mencle mampu dijadikan bahan gurauan. [uth]

Sumber Rujukan;

[1] Cerita Tugu Perbatasan Jateng dan DIY bmsaurus.blogspot.com  Diakses pada 06 September 2014

[2] Gambar “Tugu Ireng Salam Tempel”  bimosaurus.com Digunakan atas izin pemilik & Diunggah pada 06 September 2014

Berbagi dan Diskusi

13 COMMENTS

  1. […] Keresahan setelah adanya keputusan rapat paripurna anggota legislatif pada tanggal 26 September 2014, bukan saja dialami oleh warga netizen pun warga terpelajar di kota-kota besar. Pasalnya akibat disyahkannya RUU Pilkada untuk dipilih kembali oleh anggota DPRD itu juga menimbulkan keresahan di salah satu sudut kampung pinggiran Yogyakarta. […]

  2. […] Keresahan setelah adanya keputusan rapat paripurna anggota legislatif pada tanggal 26 September 2014, bukan saja dialami oleh warga netizen pun warga terpelajar di kota-kota besar. Pasalnya akibat disyahkannya RUU Pilkada untuk dipilih kembali oleh anggota DPRD itu juga menimbulkan keresahan di salah satu sudut kampung pinggiran Yogyakarta. […]

  3. […] Jika kita amati, sejatinya kokok ayam jantan ini bisa kita dengan dan saksikan sepanjang waktu tak peduli siang ataupun malam, terang ataupun gelap, dan ramai ataupun sepi. Baik pada waktu terdengar bisik oleh suara mobil, ataupun ketika ada seseorang masuk ke dalam wilayahnya.      Suara kokok ayam jantan yang terdengar ini memiliki fungsi sebagai tanda komunikasi antarmereka dan juga guna menginformasikan sesama ayam jantan mengenai batas wilayah. […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here