Jathilan: Seni Pertunjukan yang Menyajikan Cerita Sejarah

12
50547
Jathilan Kuda kepang Kuda Lumping Jaran Kepang
Jathilan Kuda kepang Kuda Lumping Jaran Kepang

Jathilan adalah kesenian yang telah lama dikenal oleh masyarakat Yogyakarta dan juga sebagian Jawa Tengah. Jathilan juga dikenal dengan nama kuda lumping, kuda kepang, ataupun jaran kepang.     Tersemat kata “kuda” karena kesenian yang merupakan perpaduan antara seni tari dengan magis ini dimainkan dengan menggunakan properti berupa kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu (kepang).

Apa itu jathilan?

Dilihat dari asal katanya, jathilan berasal dari kalimat berbahasa Jawa “jaranne jan thil-thilan tenan,” yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kudanya benar-benar joget tak beraturan.”       Joget beraturan (thil-thilan) ini memang bisa dilihat pada kesenian jathulan utamanya ketika para penari telah kerasukan.

  • Cerita dari mulut ke mulut

Memang tak ada catatan sejarah yang secara tertulis bisa dijadikan penjelasan pastinya, namun berbagai cerita verbal, dari mulut ke mulut, masih bisa didengar dari orang-orang yang akrab dengannya.     Seterusnya cerita yang terus menerus terdengar itu menjadi turun-temurun bisa diceritakan kepada generasi selanjutnya.                  Dari cerita tersebut, diperoleh pemaparan bahwa jathilan adalah sebuah kesenian yang mengisahkan perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda.     Sebagaimana yang kita ketahui, Sunan Kalijaga adalah sosok yang acap menggunakan budaya, tradisi dan kesenian sebagai sarana pendekatan kepada rakyat, maka cerita perjuangan dari Raden Patah itu digambarkan kedalam bentuk seni tari jathilan.

Masih dari cerita, versi lain memaparkan bahwa kesenian jathilan ini menggambarkan kisah prajurit Mataram yang sedang mengadakan latihan perang (gladhen) dibawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono I, demi persiapan mengadapi kolonialis Belanda.               Bukan itu saja, masih di bumi Mataram, jathilan juga dikenang sebagai gambaran perjuangan era Perang Jawa, rakyat pendukung perjuangan  menggunakan properti kuda tiruan yang terbuat dari bambu sebagai bentuk apresiasi sekaligus dukungan terhadap prajurit berkudanya Pangeran Diponegoro yang gagah berani melawan penjajahan Belanda.           Diceritakan bahwa pada saat itu kesenian tari jathilan sudah sering dipentaskan di dusun-dusun kecil.  Pementasan ini memiliki dua tujuan, yang pertama yaitu sebagai sarana menghibur rakyat sekitar, dan yang kedua juga dimanfaatkan sebagai media guna menyatukan rakyat dalam melawan penindasan.             Sehingga yang dipentaskan adalah sosok prajurit yang berpenampilan mirip dengan jaman kerajaan dahulu, dan gerakan tarinya diiringi alunan bunyi gamelan serta lantunan suara sinden.

  • Gerak Tari Jathilan

Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakkan badan, namun seiring waktu berjalan, para penari menjadi kerasukan roh halus, dimana kondisi kerasukan ini dalam bahasa Jawa sering dikatakan istilah “ndadi” atau dalam bahasa Inggrisnya ‘trance’ .              Karena kerasukan, maka para penari jatilan hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya.    Gerakan tariannyapun mulai tak teratur, pada kondisi inilah kata jathilan itu tergambar, jaranne jan thil-thilan tenan (kudanya benar-benar berjoget tak beraturan).

Keberadaan pawang

Dalam satu pertunjukan, kecuali para penari yang memiki jumlah tertentu tergantung cerita yang hendak disampaikan, maka ada instrumen pertunjukan lainnya, yaitu para penabuh gamelan, para perias, dan yang tak boleh ketinggalan adalah keberadaan “pawang,”    yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggungjawab mengendalikan jalannya pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan.

Tatkala “ndadi” alias kerasukan, para penari jathilan mampu melakukan gerakan pun atraksi berbahaya yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia, sebagai contoh adalah memakan dedaunan, menyantap kembang, bahkan juga mengunyah beling (pecahan kaca).           Adakalanya juga berperang menggunakan pedang dan lalu menyayat lengan, atraksi ini sejatinya bukan ajang pamer kedigdayaan melainkan sebagai gembaran bahwa nonmiliter juga memiliki kekuatan guna melawan pasukan Belanda.

Cerita dan penampilan Jatilan

Sesuai perkembangan jaman, sejatinya ada banyak cerita yang dikembangkan dan sering ditampilkan pada pertunjukan seni tari jathilan pun jaran kepang ini.    Jika di atas tadi ada gambaran cerita tentang Diponegoro, maka ada pula cerita tentang Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik.        Tatkala yang disampaikan adalah cerita mengenai Panji Asmarabangun, maka penampilan para penaripun menggambarkan tokoh tersebut, baik aksesoris pun gerakannya.   Sebagai contoh aksesorisnya adalah mengenakan gelang tangan, gelang kaki, ikat pada lengan, kalung, menyengkelit keris, dan tentu saja mengenakan mahkota yang acap disebut “kupluk Panji.”

Kreasi Lama dan Kreasi Baru

Dewasa ini kesenian jathilan telah berkembang dan dikemas dengan sisi berbeda, hal ini dilakukan agar tetap memiliki daya tarik bagi generasi muda yang telah mengenal tradisi modern.     Ada dua pakem di tampilkan, yaitu pakem lama yang acap dinamakan sebagai “jathilan pung jrol”  dan pakem baru yang lebih dikenal dengan sebutan “jathilan kreasi baru.”

  • Jathilan Pungjrol

Pung jrol merupakan pakem jathilan lama yang juga dinamakan sebagai pakem ‘klasik.’      Ini merupakan jathilan yang telah lebih awal ada, yaitu sejak kemunculannya pertama kali.    Pungjrol merupakan jathilan yang sederhana, baik pada sisi penampilan ataupun sisi pengiring gamelannya.

Karena kesederhanaan tersebut, memang pada awalnya yang tercipta adalah bebunyian yang jika dilapalkan akan bersuara “kil kil kol kol kil kil jrol! kil kil kol kol kil kil jrol!,”    namun pada saat kondisi “ndadi” otomatis irama itu makin kencang, sehingga ayang kan lebih dominan terdengar adalah suara kenong serta gong.    Sementara gamelan lain lebih menjadi suara latar saja, maka yang terdengar adalah bunyi “pung jrol pung pung jrol pung dhel!”     Suara inilah yang pada akhirnya lebih akrab dan dikenal masyarakat sebagai nama jathilan “pung jrol.”

  • Jathilan kreasi baru

Perkembangan jaman menuntut untuk kita lebih kreatif, karenanya kreasi dan inovasi seolah diwajibkan apabila kita tetap bisa survive dalam melakukan gerakan.         Begitu pula pada pengembangan seni jathilan ini, agar tak begitu asing bagi anak-anak jaman sekarang yang telah menikmati jaman maju, maka dikembangkanlah jathilan dengan sentuhan kreasi baru.

Yang menjadi pembeda dari jatilan kreasi berbanding jathilan klasik adalah pada gamelan sebagai musik pengirim dan juga pada penampilan, baik pemain tambahan, pakaian ataupun aksesorisnya.      Sebagai contoh adalah  terdapatnya tambahan gamelan dengan drum ataupun alat musik lain yang menggabungkan antara pentatonis dengan diatonis. Sedangkan pada sisi penampilan, seni tari jathilan ‘kreasi baru’ adakalanya menampilkan peran “celeng” (babi), “munyuk” (monyet), dan beberapa penari topeng. Bahkan ada juga jathilan gedruk, yaitu jathilan yang beberapa penarinya mengenakan aksesoris klinthing di kakinya sehingga menimbulkan suara bergemerincing secara kompak.

Pelaku Seni Jathilan

Pelaku seni tari kuda lumping tak sebatas pada jenis kelamin laki-laki saja,melainkan ada pula perempuannya, keduanya tetap tak bisa lepas dari kejadian ‘ndadi’ a.k.a trance.          Ini memberikan pesan bahwa jathilan selain merupakan hiburan rakyat juga mampu menyertakan unsur ritual.  Contoh realnya adalah ketika seorang pawang jathilan melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin kepada Tuhan agar jalannya pertunjukan lancar, serta mengucapkan “permisi” kepada makhluk lain yang berada diseputaran tempat tersebut agar tidak menggangu jalannya pertunjukan.

  • Ritual pawang jathilan

Dalam ritual, baik sebelum ataupun pada saat pertunjukan berlangsung, disediakan pula sejenis sesaji dengan maksud menyajikan pun mempersembahkan.        Hal ini bisa dimaknai sebagai gambaran manusia agar tetap “manembah pun berserah.”      Oleh karenanya sesaji ini lebih pada simbol berserah diri kepada Tuhan agar keselamatan tetap melimpah, baik pada para pelaku seni tari jathilan ataupunmasyarakat sekitar, serta para penontonnya.

Sajen yang disediakan pada pertunjukan jathilan diantaranya adalah satu tangkep pisang raja, beberapa macam jajanan pasar berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yang dihias dengan daun kol, bermacam-macam kembang, beraneka jenis minuman (kopi, teh, air putih), menyan, hio (dupa China), ingkung (ayam bekakak), sega golong (nasi bulet), dan lain sebagainya.          Jenis sesaji ini tentu saja tak sama antara daerah satu dengan yang lainnya. [uth]

Sumber Rujukan;

[1] Apa itu jathilan? www.jantixixii.com Diakses pada 30 Oktober 2014

[2] Jathilan klasik pungjrol ikanmasteri.com Diakses pada 30 Oktober 2014

[3] Gambar jathilan Bekso Kyai Janti pic.ikanmasteri.com Diakses pada 30 Oktober 2014

Berbagi dan Diskusi

12 COMMENTS

  1. […] Sang anak di dekatkan pada semua barang tersebut. Selanjutnya ditunggu reaksi si kecil. Apabila ia mendekati dan memegang cangkul maka kelak ia akan dididik sebagai seorang petani, dan ketika si kecil memedang pulpen maka orang tua memiliki harapan kelak kemudian hari sang anak akan memiliki pendidikan tinggi atau setidaknya menjadi pemikir dan pencatat sejarah. […]

  2. […] Di atas panggung ada banyak sekali dandanan yang menggunakan rambut. Secara umum, semua dilakukan demi menyesuaikan ataupun menggambarkan tokoh yang akan diperankan.  Sebagai contoh adalah dalam pertunjukan wayang orang, dandanan anatar Arjuna dan Sengkuni tentu tak sama, dan oleh karenanya rambut menjadi salah satu bagian pembeda itu. [Baca juga: Jathilan: Seni Pertunjukan yang Menyajikan Cerita Sejarah] […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here