Daftar Isi
Dibanding warga Eropa, warga negara Indonesia tentu tak asing lagi dengan kejadian gempa bumi, karena selain terdapat gempa vulkanis yang diakibatkan dari aktifnya kondisi gunung berapi, di bumi Nusantara ini ada pula gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran tanah. Hal ini tentu saja tak bisa lepas dari letak Indonesia yang berada di antara tiga pertemuan lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Berbagai macam gempa kerap terjadi di belahan bumi Nusantara ini, baik yang berskala kecil, sedang, ataupun skala besar hingga menimbulkan tsunami. Dan dari kejadian gempa tersebut, ternyata ada banyak cara dilakukan warganya, baik berujud penyelamatan secara modern ataupun kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Karena melakukan kebiasaan turun-temurun dalam menyikapi gempa bumi tersebut, bahkan adakalanya justru si pelaku malah tak begitu tahu persis dengan apa yang dikerjakan sebagai kebiasaannya.
Menyikapi Gempa secara Tradisional
Di tanah Jawa, khususnya sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta, ada sebuah kebiasaan yang dilakukan orangtua terdahulu dalam menghadapi satu kejadian gempa bumi. Kebiasaan yang juga merupakan cara tradisional itu, antara lain adalah kebiasaan memukul kentongan, kebiasaan menaburkan abu pada telur yang baru dieram oleh sang induk ayam, dan juga kebiasaan mengucapkan kata “kukuh-bakuh” secara berulang-ulang.
-
Memukul Kentongan
Ada beberapa alasan orang-orang Jawa memukul kentongan, salah satunya adalah karena adanya bahaya bencana. Dan gempa bumi sebagai bagian penyebab terjadinya sebuah bencana, tentu saja tak luput dari perlakuaan memukul pentongan ini.
Kentongan dipukul dengan tujuan agar banyak warga yang mendengar menjadi lebih waspada terhadap kondisi serta cuaca yang ada. Lain dari itu, kentongan juga menjadi kode ataupun tanda pemberitahuan, sekiranya memang telah terjadi sebuah bencana. Dan sebagai tanda pemberitahuan satu bencana, maka pemukulan kentongan dilakukan dengan ketukan satu-satu dengan ritme yang cepat serta keras. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama masyarakat Jawa dan masuk dalam bagian dari norma sosial, karena tak ada peraturan tertulis yang menjadi rujukannya.
-
Menaburkan Abu pada Telur
Kebiasaan menaburkan abu pada telur ini menjadi tak lazim dan sangat susah dipahami. Namun bagi sebagian orang-orang Jawa, khususnya mereka para orang tua, kebiasaan ini tetap dilakukan selepas terjadi sebuah gempa bumi. Dan ketika ditanya, kenyataannya merka juga tak bisa memberikan penjelasan secara pasti, selain hanya meniru kebiasaan orang-orang terdahulu.
Jawaban Masuk Akal
Meski masih sebatas kebiasaan turun-temurun, penulis sempat bertanya pada seseorang yang dituakan mengenai kebiasaan tersebut, dan lalu juga mendapat jawaban yang sedikit ilmiah dan masuk di akal.
Ketika gempa bumi terjadi, tak sedikit hewan juga merasa tak nyaman dengan kebiasaannya. Jika sedang nangkring di pohon, tentu akan segera turun ataupun terbang. Ketika sedang tidur tentu akan segera bangun dan berdiri, dan seterusnya. Begitu pula dengan kondisi induk ayam yang sedang mengerami calon anak-anaknya. Sang induk akan lebih memilih hengkang dari tempatnya mengerami telur guna mencari tempat yang dirasanya nyaman.
Pada saat sang induk ayam keluar dan tidak mengerami telur, apalagi jika tak segera kembali, tentu saja kondisi telur ayam menjadi dingin kembali. Di samping itu, guncangan gempa bumi juga sedikit banyak akan memberi pengaruh pada sang telur. Demi memberikan bantuan terhadap kurang panasnya suhu telur dan berguncangnya posisi, maka dengan bantuan abu ditengarai akan memperkecil kegagalan menetasnya sang telur.
Mengucapkan Kata Kukuh-Bakuh
Kata “kukuh bakuh” yang acap dilafalkan orang-orang tua Jawa saat menghadapi gempa bumi bukan tanpa alasan, karena tak sedikit para orangtua meyaqini lafal tersebut bisa memperingan kondisi terjadinya gempa.
-
Maksud kata Kukuh Bakuh
“Kukuh” merupakan kata berbahasa Jawa yang memiliki definisi ‘kokoh’ ataupun ‘kuat’ dalam menghadapi rintangan, sedangkan ‘bakuh’ menjadi kata penguat dari “kukuh” tersebut. Bakuh ini fungsinya kurang-lebih serupa dengan kata ‘gembira’ dari kata ‘riang gembira,’ ataupun kata ‘pikuk’ pada kata ‘hiruk pikuk.’
Kata kukuh-bakuh yang dilafalkan tatkala menghadapi gempa bumi ini bisa jadi dikategorikan sebagai mantra. Akan tetapi bila ditilik dari sisi psikis yang ada, kata “kukuh bakuh” merupakan ucapan yang memiliki fungsi sebagai penyemangat diri, membesarkan nyali, dan usaha meniadakan rasa was-was.
Dari alasan diataslah kita bisa menyimpulkan bahwa pengucapan kata “kukuh bakuh” ketika gempa bisa memperingan kondisi karena ada efek yang tercipta karenanya, yaitu mampu menguatkan hati dan juga mengurangi kepanikan serta kekhawatiran. [uth]
Sumber Gambar;
[1] Gambar impact of eartquake pixabay.com Diakses pada 22 November 2014
[…] Kebiasaan baik ini dapat dilakukan oleh ibu hamil yang selama kehamilan dengan rutin mengonsumsi apel yang memberi manfaat mengurangi risiko terkena asma. Seorang anak yang juga rutin meminum jus apel setiap hari akan memiliki risiko sangat rendah terkena gangguan pernafasan biladibandingkan dengan anak yang mengonsumsi jus apel sebulan sekali. […]
[…] selebriti. Sebut saja nama Raditya Dika dan ndorokakung, atau sosok anak muda asal Magelang – Jawa Tengah bernama Agus Mulyadi yang belum lama lalu heboh akibat ulah kocaknya. Mau mengelak dan beralasan […]
[…] Di tanah Jawa, khususnya sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta, ada sebuah kebiasaan yang dilakukan orangtua terdahulu dalam menghadapi satu kejadian gempa bumi […]
Hehe, setuju banget.. Hal ini yang diajarkan oleh mbah-mbah kita..