Apakah autisme? Pertanyaan ini masih menghinggapi sekian banyak orang terutama orangtua yang masih baru atau calon orangtua. Autisme perlu dipelajari sebagai bekal penting pengetahuan pasangan berkeluarga untuk mengantisipasi. Kaburnya penyebab autisme menjadikan kelainan perkembangan otak ini dapat menjangkit siapa saja dan di mana saja. Pemahaman yang benar tentang kelainan ini pula bermanfaat bagi orangtua yang memiliki anak terpapar autis atau sebagai referensi bagi pihak lain yang membutuhkan. Pemamaman tepat tentang terminologi ini juga diharapkan dapat memberikan efek perlakuan yang baik terhadap anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Autisme bukanlah kelaian kejiwaan melainkan kelainan perkembangan syaraf. Gangguan ini masuk dalam kategori “kelainan spektrum autisme” (Autism Spectrum Disorders {ASD}) dan juga masuk dalam kategori gangguan perkembangan perpasif. Pemahaman mendasar bahwa autisme bukan kelainan kejiwaan perlu dipahami oleh orangtua. Gangguan ini terjadi pada otak yang menyebabkannya tidak dapat berfungsi secara maksimal seperti otak pada umumnya. Implikasi dari kelainan atau gangguan perkembangan tersebut tampak dalam bentuk kesulitan pengidap untuk bersosialisasi dengan orang lain; kesulitan berkomunikasi; hingga kesulitan untuk memahami emosi orang di sekitarnya. Autisme bukan penyakit kutukan, seperti yang berkembang pada beberapa bagian masyarakat.
Gejala autisme dapat diketahui sejak bayi. Silang pendapat ahli terjadi terkait dengan penelusuruan gejala ini. Anak autis pun dapat sekilas tampak normal pada usia 1-2 tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa orangtua perlu secara cermat mengamati perkembangan anak secara menyeluruh. Pada kasus tidak tampaknya gejala autis pada usia 1-2 tahun, orangtua terkadang terlambat menyadari. Orangtua yang tidak memiliki pemahaman rinci tentang gangguan ini pun bahkan tidak menyadari kemungkinan anak yang mengalami autis.
Beberapa gejala yang dapat disadari selama masa perkembangan, salah satunya, adalah keterlambatan perkembangan kemampuan bahasa pada anak. Meski demikian, keterlambatan perkembangan ini tidak serta-merta menunjukkan bahwa anak adalah pengidap autis. Perlu pemeriksaan terperinci dengan mengenal kompleksitas gejala dan kondisi otak untuk menyatakan anak adaalah pengidap gangguan tersebut. Beberapa gejala lain yang dapat dirasakan adalah munculnya kecenderungan melakukan beberapa aktivitas repetitif pada anak, seperti menggerakkan tangan dengan pola tertentu atau mengulang beberapa jenis kata secara terus menerus.
Pokok gejala yang semakin mendekati penjelasan tentang gejala autisme terkait dengan respon anak terhadap situasi, sesuatu atau orang lain di sekitarnya. Minimnya respon atas rangsangan yang ditterima panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan sentuhan) menunjukkan gejala lainnya. Anak autis sangat minim merespon pelbagai rangsangan yang bersumber dari luar dirinya. Gejala yang tampak pada perilaku juga sangat mungkin ditemukan. Respon tidak wajar dapat muncul dan menunjukkan gejala situasi perkembangan otak anak autis. Anak autis bisa saja sangat egresif atau justeru sebaliknya: pasif. Anak autis memiliki minat yang terbatas. Kemampuan sosialisasi dengan orang lain pun cukup rendah. Hal itu disebabkan oleh kesulitan anak autis untuk memahami emosi orang lain.
Salah satu hambatan yang paling tampak pada anak autis adalah kesulitan dalam mempelajari komunikasi dengan orang lain, termasuk orangtua. Masalah belajar dapat saja tampak dan menjadi salah satu gejala dari sekian gejala yang dapat tampak dan bermunculan. Hambatan belajar pada anak autis tidak dapat dilepaskan dari hambatan yang terjadi pada otak. Sebagian anak autis mengalami kesulitan untuk mengingat atau menghafalkan sesuatu. Hambatan ini juga memaksa anak autis untuk sulit memahami pola-pola tertentu, termasuk dalam mempelajari sesuatu dan komunikasi.
Secara umum, anak dapat dikatakan mengalami problem autisme apabila memenuhi beberapa ciri dan gejala berikut, yaitu (1) kesulitan dalam berkomunikasi; (2) kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungan atau orang di sekitar; (3) munculnya perilaku repetitif yang dilakukan terus menerus, dan (4) munculnya gejala perkembangan yang terlambat dan tidak normal sesuai dengan periode perkembangan psikologis dan psikomotoriknya.
Sumber:
Klin, Ami; Jones, Warren; Schultz, Robert; Fred, Volkmar; Cohen, Donald (2002). “Defining and Quantifying the Social Phenotype in Autism”. American Journal of Psychiatry 159: 895–908. Diakses 2 Juli 2013
Greenspan, Stanley and Weider, Serena. “Engaging Autism.” Da Capo Press:2006.
Sumber Gambar: Andwhatsnext berlisensi cc.
trm ksh infonya sangat bermanfaat bagi pasangan orang tua yang berusia produktif
[…] Gejala autisme dapat diketahui sejak bayi. Silang pendapat ahli terjadi terkait dengan penelusuruan gejala ini. Anak autis pun dapat sekilas tampak normal pada usia 1-2 tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa orangtua perlu secara cermat mengamati perkembangan anak secara menyeluruh. Pada kasus tidak tampaknya gejala autis pada usia 1-2 tahun, orangtua terkadang terlambat menyadari. Orangtua yang tidak memiliki pemahaman rinci tentang gangguan ini pun bahkan tidak menyadari kemungkinan anak yang mengalami autis. […]