Bilah rotan membentur kulit tulang dua jagoan yang saling serang, wajah keduanya pun memerah menandakan pertarungan yang semakin seru. Sementara suara riuh ratusan penonton terdengar menggema di sisi lapangan tempat mereka berlaga. Pertarungan ini adalah bagian dari ritual Ujungan yang digelar dalam Festival Ujungan di Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Ujungan bukan sekadar adu kekuatan. Setiap tetes darah yang mengalir atau rasa sakit karena pukulan, tersirat harapan. Lewat kepedihan itu, masyarakat berharap belas kasihan dari Yang Maha Kuasa untuk menurunkan hujan ke bumi.
Ritual Ujungan tidak digelar setiap tahun. Ujungan digelar apabila kemarau panjang atau sampai Mangsa Kapat, hingga puncaknya Mangsa Kalima tidak juga turun hujan.
Asal Usul Tradisi Ujungan
Tradisi Ujungan berawal dari peristiwa kehidupan masyarakat Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Banjarnegara yang terjadi sekitar tahun 1813 an. Awal mula tradisi Ujungan tumbuh ketika Desa Gumelem Wetan (saat itu masih berupa Padukuhan Karang Tiris) dilanda kekeringan yang sangat panjang, akibatnya tidak sedikit petani yang selalu berebut air untuk keperluan sawah atau pun ladangnya. Cara untuk mengairi lahan sawah dengan cara bergilir waktu itu sudah tidak lagi dihormati petani.
Pada hari Jum’at Kliwon, ketika itu di sebuah sumber air ada dua orang petani bersitegang berebut air untuk mengairi sawah, Ki Singakerti yang mengetahui perstiwa itu pun tidak bisa melerai, karena kedua orang petani yang bersitegang tidak mau berdamai.
Ki Singakerti memberikan masing-masing dari dua orang tersebut sebilah Kayu Rasihe untuk saling “sabet”. Peristiwa yang cukup lama menyebabkan tubuh kedua petani itu mengalami luka–luka dan banyak mengucurkan darah, tidak selang lama kemudian turunlah hujan dan ternyata hujan turun sangat lebat.
Kedua petani itu tersadarkan diri akibat perbuatan yang dilakukanya, seketika itu pulalah mereka saling meminta maaf dan memanjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia berupa hujan. Tanaman dapat tumbuh subur kembali dan lahan sawah beserta ladang petani dapat diolah untuk mendapatkan hasil guna menopang kehidupanya.
Peristiwa “saling sabet“ antara kedua petani ini, oleh seorang tokoh Padukuhan Karang Tiris, yaitu Ki Singakerti dan para Demang di Gumelem saat itu beserta para petaninya, dijadikan sebagai peringatan atau momentum yang akhirnya hingga sekarang menjadi sebuah tradisi Mujung (memohon).
Baca : [ Mengenal Tradisi Begalan pada Masyarakat Banyumas ]
Perkembangan Tradisi Ujungan
Adapun Ujungan saat ini menjadi bentuk tradisi yang dalam pelaksanaan mujung atau memohon datangnya hujan kepada Yang Maha Kuasa apabila terjadi musim kemarau yang sangat panjang.
Dalam perkembanganya, Ujungan yang selalu digunakan sebagai sarana untuk memohon turunnya hujan selau digelar mulai hari Jum’at Kliwon pada Mangsa Kapat, hingga puncaknya Mangsa Kalima di musim kemarau.
Ujungan telah mengalami perkembangan dan perubahan dengan tidak meninggalkan unsur sakralnya, di antaranya adalah dalam hal bagian tubuh yang disabet, sekarang hanya terbatas dari bagian lutut hingga telapak kaki. Pemainnya pun dilengkapi dengan berbagai pelindung termasuk pelindung kepala yang dihias dengan berbagai ornamen, demikian juga alat pemukulnya pun telah menggunakan rotan sepanjang lengan orang dewasa dan telah dikemas dalam sebuah seni pertunjukan.
Kedua orang pemainnya termasuk Wlandang (wasit) harus melakukan gerak tari dengan diiringi irama gamelan yang sangat sederhana. Gerak tari yang ditampilkan adalah gerak tari yang menunjukkan atau melambangkan kekuatan tubuhnya dan kelincahan menghindar dari sabetan lawan.
Baca : [ Gumbregan : Tradisi Syukuran Masyarakat Gunungkidul Atas Rezeki Binatang Piaraan ]
Walaupun dalam pertunjukanya adalah bentuk perlawanan atau bentuk adu kekuatan, namun setelah pertunjukan usai, para pemain tidak ada unsur dendam atau sejenisnya, rasa kekeluargaan dan sportivitasnya tetap terjaga dengan baik.