
Daftar Isi
Masyarakat Samin atau yang dikenal dengan sebutan Wong Sikep atau Sedulur Sikep, adalah kelompok masyarakat penganut ajaran Samin yang persebarannya dimulai di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sebutan sebagai Wong Sikep atau Sedulur Sikep lebih disukai oleh masyarakat Samin karena memiliki arti orang yang baik dan jujur.
Berbeda dengan sebutan Wong Sikep atau Sedulur Sikep, sebutan sebagai Wong Samin justru memiliki citra yang jelek di mata masyarakat Jawa pada abad 18 sebagai kelompok orang yang tidak jujur. Sikep juga memiliki arti lain, yakni orang yang mempunyai rasa tanggungjawab. Wong Sikep dapat diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab.
Sedulur Sikep adalah turunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memiliki keyakinan betapa pentingnya menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur dan tidak menyakiti orang lain. Tatanan kehidupan dan perilaku yang unik dari masyarakat Samin tidak bisa dilepaskan dari sikap masyarakat Samin yang dulu menentang Pemerintah Kolonial Belanda.
Masyarakat Samin melawan Pemerintah Kolonial Belanda tidak dilakukan dengan perlawanan secara fisik. Wujud dari perlawanan ini adalah dengan cara membandel tidak mau menyetor padi, menentang pamong desa, dan tidak mau membayar pajak. Sikap pertentangan ini yang kemudian menjadi kebiasaan sikap dan perilaku dari masyarakat Samin yang tidak selalu mengikuti adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Sehingga masyarakat Samin memiliki perilaku, tatanan, dan adat-istiadat sendiri.
Asal-Usul Masyarakat Samin
Nama Samin adalah nama yang berasal dari tokoh masyarakat Samin bernama Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora dengan nama asli Raden Kohar. Ayah Raden Kohar adalah Raden Surowijaya yang bekerja sebagai bromocorah untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin dari daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Nama Raden Kohar berubah menjadi nama Samin dan kemudian menjadi Samin Surosentiko yang oleh anak didiknya disebut sebagai Ki (Kiai) Surosentiko.
Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Blora, pada tahun 1890. Dalam waktu singkat, banyak orang tertarik menjadi pengikut dari Samin Surosentiko. Kala itu, oleh Pemerintah Belanda, ajaran Samin hanya dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang sepi dan hanya remeh-temeh belaka.
13 tahun kemudian, yakni pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Para pengikut Samin giat mengajarkan ajaran Samin, sehingga pada tahun 1907 pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Lantaran memiliki pengikut yang semakin banyak, pemerintah mulai was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
8 November 1907, para pengikut Samin mengangkat Samin Surosentiko sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Namun, 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil, Samin Surosentiko ditangkap oleh Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Bersama dengan 8 pengikutnya, Samin lalu dibuang ke Kota Padang, Sumatera Barat dan meninggal di Padang pada 1914.
Penangkapan Samin Surosentiko kala itu oleh pemerintah di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, tidak memadamkan gerakan Samin. Keturunan dan pengikut Samin kemudian menyebarkan ajaran Samin ke daerah Madiun, Grobogan, dan kawasan Kajen, Pati.
Puncak penyebaran ajaran Samin terjadi pada 1914. Kala itu Pemerintah Kolonial Belanda menaikkan pajak dan disambut oleh para pengikut dengan pembangkangan dan penolakan dengan cara-cara yang unik. Cara-cara pembangkangan ini seperti tidak lagi menghormati pamong desa, polisi dan aparat pemerintah yang lainnya. Para pengikut Samin mengejek dan memandang para aparat desa dan polisi sebagai badut-badut belaka. Salah satu penyebab banyak ditangkapnya pengikut Samin adalah karena perlawanan mereka terhadap Pemerintah Belanda dengan tidak mau membayar pajak. Pemerintah Belanda juga gencar melakukan teror terhadap para pengikut Samin, sehingga sekitar tahun 1930 an, perlawanan gerakan Samin terhadap pemerintah kolonial menguap dan terhenti.
Baca : [ Menilik Falsafah Hidup Masyarakat Jawa dan Maknanya ]
Persebaran Masyarakat Samin
Persebaran masyarakat Samin bermula dari desa kelahiran Samin Surosentiko, di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Lantaran pengikutnya yang semakin banyak, Samin Surosentiko kemudian mencari tempat lain yang lebih luas, yakni di Desa Sumber, Kecamatan Kradenan dan Desa Bapangan, Kecamatan Menden. Dari desa-desa ini, persebaran masyarakat Samin meluas ke daerah Kedungtuban, Sambong, Jiken, Jepen, Blora, Tunjungan, Ngawen, Todanan, Kunduran, Bangreja dan Doplang. Persebaran masyarakat Samin juga sampai ke luar daerah Blora, yakni sampai ke Kudus, Pati, Rembang, Bojonegoro dan Ngawi.
Ajaran Samin
Tiga pokok utama ajaran Samin adalah ajaran yang berhubungan dengan angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk), ajaran Samin yang berhubungan dengan angger-angger pangucap (hukum berbicara), dan ajaran Samin yang berhubungan dengan angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).
Samin Surosentiko menggunakan cara sesorah (ceramah) di rumah atau di tanah lapang setiap kali mengajarkan ajaran Samin kepada para pengikutnya. Ajaran Samin pada hakikatnya menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia, kehidupan yang sempurna dan kehidupan yang tidak sempurna. Ajaran tersebut menjadi pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku atas perbuatan-perbuatan manusia, khususnya masyarakat Samin agar selalu hidup dengan baik dan jujur untuk anak keturunan kelak.
Baca : [ Mengenal Ilmu Astrologi Jawa ]
Bahasa Jawa Samin
Salah satu wujud sikap pertentangan masyarakat Samin terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, adalah mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan (yang dianggap antek penjajah Belanda) dan para pejabat Pemerintah Belanda dengan bahasa Jawa krama. Masyarakat Samin memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko. Sehingga, penggunaan bahasa Jawa ngoko oleh masyarakat Samin pada kala itu menjadi sebuah perlawanan terhadap Belanda dan antek-anteknya.
Lantaran penggunaan bahasa Jawa ngoko inilah, para penguasa dan orang-orang kota mengonotasikan pergerakan masyarakat Samin sebagai sekadar perkumpulan orang yang tidak santun. Bahkan, penguasa pada saat itu mendramatisasikan masyarakat Samin dengan falsafah Jawa Kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap tidak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut Wong Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan.
Penggunaan bahasa Jawa ngoko oleh masyarakat Samin, sebetulnya sesuai dengan ajaran Samin Surosentiko. Samin Surosentiko mengajarkan bahwa siapa pun sama, manusia hidup mempunyai kedudukan dan tingkatan yang sama. Sehingga masyarakat Samin tidak pernah membeda-bedakan orang. Masyarakat Samin menganggap semua orang, baik dari kalangan bangsawan, pejabat, sampai orang miskin sebagai saudara atau sedulur. Alasan inilah yang menjadikan masyarakat Samin dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa ngoko, karena semua adalah sama dan semua adalah sedulur.
Sumber Rujukan :
Mardikantoro, Hari Bakti, Samin Kajian Sosiolinguistik Bahasa Persaudaraan dan Perlawanan, Forum, 2017.