Sejarah Suikerfabriek Kalibagor, Pabrik Gula Pertama di Karesidenan Banyumas

0
6146
suikerfabriek kalibagor
Suikerfabriek Kalibagor. Gambar diambil dari banjoemas.com.

Suikerfabriek Kalibagor atau Pabrik Gula Kalibagor merupakan pabrik gula pertama yang didirikan di wilayah Karesidenan Banyumas. Suikerfabriek Kalibagor didirikan pada tahun 1838 oleh Sir Edward Cooke Junior. Pada masa perkembangannya, Suikerfabriek Kalibagor sempat menjadi pemasok gula di Pulau Jawa dan tercatat sebagai salah satu perusahaan milik Belanda yang terbesar di wilayah Karesidenan Banyumas.

Keberadaan Suikerfabriek Kalibagor pada masa itu menjadi tonggak sejarah perkembangan perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula lainnya di wilayah Karesidenan Banyumas. Perkembangan yang pesat terjadi setelah pemerintah membuka keterlibatan pihak swasta dalam bisnis gula. Pemerintah juga melakukan pengembangan jalur transportasi yang menghubungkan wilayah-wilayah perkebunan tebu dan pabrik gula sebagai jalur distribusi.

Selain Suikerfabriek Kalibagor, pada tahun 1889 berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh administratur J.T. de Ruijter. Tahun 1891 berdiri dua pabrik gula swasta, masing-masing di Bojong yang dipimpin oleh administratur H.C.C Fraissinet dan di Kalimanah yang dipimpin oleh administratur Ch. Conradi. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1893 berdiri pabrik Ekonomi Banyumas Masa Kolonial | 45 gula di Purwokerto yang dipimpin oleh administratur M.C. Brandes. Kemudian disusul berdirinya pabrik gula di Majenang.

Perkebunan Tebu Pertama di Banyumas

Sebelum pendirian Suikerfabriek Kalibagor, pemerintah Belanda telah mencoba melakukan penanaman tebu di wilayah karesidenan Banyumas. Penanaman tebu pertama kali dilakukan pada lahan sawah dengan luas sekitar 64 bau. Pada saat itu, luas tanah masih dihitung dengan satuan bau atau bahu yang berasal dari kata “bouw” dalam bahasa Belanda yang berarti “garapan”.

Perkembangan perkebunan tebu terbilang lambat. Pada tahun 1840, lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu hanya dapat diperluas menjadi sekitar 400 bau. Secara tradisional, pada masa itu semua tanah adalah milik kerajaan yang pengelolaannya diserahkan kepada para penguasa lokal. Di tingkat lokal, urusan tanah diserahkan kepada bupati, sedangkan di tingkat desa wewenang pengurusan tanah menjadi hak para kepala desa.

Para kepala desa memiliki tugas sebagai pengumpul pajak dan mengorganisasi tenaga kerja paksa. Sebagai penduduk desa, para petani hanya memiliki status sebagai penggarap tanah pertanian di desanya. Atas pertimbangan inilah, pemerintah kolonial Belanda merasa memiliki hak luas untuk menguasakan tanah-tanah pertanian yang digarap oleh penduduk pedesaan. Perjanjian penggunaan tanah untuk perkebunan tebu dilakukan oleh wakil dari pihak perkebunan dengan para kepala desa. Perjanjian ini tertutup tanpa melibatkan para petani sebagai penggarap.

Ketika Suikerfabriek Kalibagor didirikan, areal perkebunan tebu pabrik gula ini menggunakan lahan yang berada di wilayah Purbalingga dan Banyumas. Pada kurun waktu 1840-1855, luas areal lahan yang digunakan relatif masih tetap, yakni berkisar 400 bau, dengan 111 bau sampai 280 bau sebagai lahan produktif.

Baca: [ Museum BRI Purwokerto, Sejarah Berdirinya Bank Pemerintah Pertama di Indonesia ]

Pembangunan Suikerfabriek Kalibagor

Suikerfabriek Kalibagor didirikan dalam satu kompleks bangunan yang dilengkapi dengan beberapa bangunan pendukung lainnya. Bangunan tersebut seperti bangunan untuk kantor, bangunan rumah untuk para pegawai yang berada di seberang jalan dan sebelah selatan pabrik. Salah satu rumah di seberang jalan ditempati oleh administratur pabrik.

Arsitektur bangunan kantor maupun perumahan pegawai Suikerfabriek Kalibagor dibangun dengan gaya kolonial yang dikenal dengan The Empire Style. Gaya arsitektur neo klasik yang berkembang di Eropa pada saat itu. Bangunan yang menggunakan pilar-pilar besar, umumnya merupakan hasil penyesuaian dengan kondisi iklim tropis dan material lokal.

Ciri umum gaya kolonial ini adalah denah bangunan simetris, merupakan bangunan satu lantai yang ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya The Empire Style adalah bangunan dibuat terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang. Bangunan juga memiliki serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain.

Arsitektur bangunan dengan gaya The Empire Style memiliki ciri yang paling menonjol dengan adanya barisan pilar atau kolom bergaya Yunani yang menjulang tinggi. Serambi belakang sering kali digunakan sebagai ruang makan yang pada bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis.[2]

Baca: [ Salah Satu Masjid Tertua di Indonesia Ada di Banyumas ]

Perkembangan Perkebunan Tebu di Banyumas

Perkembangan perkebunan tebu di wilayah Karesidenan Banyumas sampai tahun 1857 masih terbilang lambat. Pada tahun ini dilakukan perubahan jangka waktu penggunaan lahan untuk perkebunan tebu mengacu pada Surat Keputusan tanggal 11 April No. 54. Penggunaan lahan untuk perkebunan tebu yang semula berjangka waktu tiga tahun, kemudian diubah menjadi jangka waktu 20 tahun.

Meskipun telah mengubah jangka waktu penggunaan lahan, pihak pengelola masih mengalami kesulitan dalam pengelolaan perkebunan, salah satunya adalah soal transportasi. Mempertimbangkan tingkat kesulitan ini, pemerintah Belanda menetapkan target produksi gula di wilayah Karesidenan Banyumas yang masih ringan, yakni sebesar 17 pikul per bau.

Pada tahun 1870, pengelolaan perkebunan tebu mengalami perubahan yang besar. Pemerintah mengeluarkan Agrarische Wet yang diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 110 tahun 1870. Sesuai dengan perkembangan yang sedang terjadi, pengelolaan perkebunan tebu di Banyumas berangsur diserahkan pengelolaannya kepada para pemilik modal swasta. Pedoman pelaksanaan pengelolaan perkebunan tebu oleh pihak swasta mengacu pada Peraturan Residen Banyumas tahun 1873 yang berkaitan dengan kontrak tanah perkebunan tebu.

Pada prinsipnya, peraturan ini memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menanamkan modalnya pada perkebunan tebu dan pabrik gula di wilayah Karesidenan Banyumas. Dalam praktiknya, pengusaha swasta bisa menjalin kerja sama dengan para penguasa pribumi. Kerja sama ini berlaku dalam penggunaan lahan perkebunan dan pabrik gula, maupun dalam pengangkutan hasil produksinya.

Peraturan ini tidak membawa perubahan yang berarti bagi petani. Dalam hal penggunaan lahan untuk perkebunan, perjanjian dilakukan oleh pihak perkebunan dengan para kepala desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada saat itu, kepemilikan lahan masih dipandang sebagai milik komunal bagi masyarakat desa yang bersangkutan. Para petani hanya menyaksikan dan memberi cap jari mereka pada saat upacara kontrak. Para petani tidak bisa menikmati uang sewa, karena uang sewa baru bisa diserahkan kepada petani setelah dipotong pajak dan berbagai pungutan lainnya.

Baca: [ Sokaraja, Pusat Lukisan Bersejarah di Banyumas ]

Berdirinya Pabrik Gula Baru di Karesidenan Banyumas

Adanya peraturan baru yang membuka peluang bagi pengusaha swasta untuk menanamkan modalnya, membawa perubahan besar pada perluasan areal perkebunan tebu di wilayah Karesidenan Banyumas. Pada tahun 1890, perluasan lahan perkebunan tebu telah mencapai dua kali lipat dari luas lahan pada tahun-tahun sebelumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan perluasan lahan perkebunan adalah didirikannya pabrik gula baru di wilayah Klampok. Dari total luas lahan yang ada, sekitar 500 bau adalah milik pabrik gula Kalibagor, sedangkan pabrik gula Klampok memiliki areal lahan perkebunan tebu seluas 600 bau.

Para pengusaha swasta umumnya menggunakan sistem kontrak pada penggunaan lahan untuk perkebunan tebu. Pada masa ini lahir undang-undang yang menjadi peraturan penting dalam sewa lahan untuk perkebunan tebu. Undang-undang ini adalah grondhuur ordonantie yang berlaku untuk seluruh wilayah Jawa dan Madura, kecuali daerah Vorstenladen. Pada peraturan baru ini, dikenal adanya sewa tanah dalam jangka waktu yang panjang.

Residen Banyumas kemudian mengeluarkan surat keputusan tentang harga sewa tanah yang digunakan untuk perkebunan tebu. Surat keputusan yang dikeluarkan tanggal 11 Juni 1878 No. 16 ini mengatur harga sewa tanah dalam setiap tahun adalah f.50 per bau. Pada tahun 1890, harga sewa tanah untuk perkebunan mengalami kenaikan menjadi f.67 per bau. Surat keputusan dari Residen Banyumas ini dikeluarkan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi bagi petani di satu sisi dan para pengusaha di sisi lain.

Perkembangan perkebunan tebu dan pabrik gula di wilayah Karesidenan Banyumas kemudian mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan yang paling mencolok terjadi sampai tahun 1895. Pada masa itu, berdiri empat perusahaan swasta yang mengelola perkebunan tebu dan pabrik gula.

Selain Suikerfabriek Kalibagor, pada tahun 1889 berdiri pabrik gula di Klampok yang dipimpin oleh administratur J.T. de Ruijter. Tahun 1891 berdiri dua pabrik gula swasta, masing-masing di Bojong yang dipimpin oleh administratur H.C.C Fraissinet dan di Kalimanah yang dipimpin oleh administratur Ch. Conradi. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1893 berdiri pabrik Ekonomi Banyumas Masa Kolonial | 45 gula di Purwokerto yang dipimpin oleh administratur M.C. Brandes. Kemudian disusul berdirinya pabrik gula di Majenang.

Memasuki abad ke 20, perkembangan perkebunan tebu dan pabrik gula yang pesat ini direspons oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda mengembangkan jalur transportasi yang menghubungkan kota-kota kabupaten dengan ibu kota distrik dan onderdistrik. Salah satu catatan terpenting dalam pengembangan transportasi di wilayah Karesidenan Banyumas adalah dibangunnya jaringan kereta api oleh SDS (Serajoedal Stoomtram Maattsschsppij). SDS adalah sebuah perusahaan trem (jenis kereta api untuk jalur dekat) swasta yang diberi konsesi oleh pemerintah Belanda selama 99 tahun.[1]

Baca: [ Mengenal Soetedja, Komponis Legendaris Pelopor Musik Modern Indonesia ]

Pada masa pendudukan Jepang, Suikerfabriek Kalibagor atau pabrik gula Kalibagor sempat berhenti beroperasi karena Jepang tak membutuhkan gula untuk menyokong perang Pasifik. Setelah memasuki masa kemerdekaan, pabrik gula Kalibagor kembali dioperasikan oleh PT Perkebunan Nusantara atau PTPN IX. Tahun 1997 saat krisis moneter melanda Indonesia, Pabrik Gula Kalibagor kembali berhenti beroperasi dan menjadi akhir dari riwayat beroperasinya Suikerfabriek Kalibagor.

Sumber rujukan:

[1] Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas Masa Gandasubrata Tahun 1913-1942, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, diakses pada 9 Desember 2019.

[2] Alimudin, Suikerfabriek Kalibagor, Harta Karun yang Kini Merana, arsip majalah Properti Purwokerto.

[3] Foto Suikerfabriek Kalibagor diambil dari website banjoemas.com, diakses pada 9 Desember 2019.

Video pilihan

Berbagi dan Diskusi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here